Rabu, 18 Desember 2013

WWF INDONESIA - Sebagai rangkaian kegiatan RSPO Round Table ke-11, hari ini WWF-Indonesia dan RSPO mengadakan media roundtable di Hotel Sahid. Kesempatan ini dijadikan sebagai ajang tukar pikiran dan pembahasan lebih mendalam mengenai hasil dan tindak lanjut RT 11 yang diselenggarakan di Medan, bulan November lalu. Dalam kesempatan ini, Irwan Gunawan, Deputi Direktur untuk Market Transformation Initiative WWF-Indonesia, kembali mengajak media untuk ikut menyuarakan pada masyarakat dan pelaku bisnis agar mendukung produksi kelapa sawit bersertifikat lestari (CSPO).

Sesi pertama diisi dengan presentasi dari RSPO, yang diwakili oleh Direktur RSPO Indonesia, Desi Kusumadewi. Melalui presentasinya, Desi menyampaikan bahwa RT 11 – dengan tema besar “RSPO Standard 2013: Understand. Apply. Embrace” – untuk pertama kalinya mengadopsi mekanisme open space discussion, dimana peserta terlibat dalam pembahasan rencana aksi 2014 sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

Dalam lingkup Indonesia, benang merah hasil kegiatan tiga hari yang dihadiri oleh 784 delegasi dari 30 negara ini, menunjukkan peningkatan posisi kelapa sawit bersertifikat lestari pada industri kelapa sawit. Sebagai negara penghasil kelapa sawit utama di dunia, Pemerintah Indonesia berupaya mendorong aspek kelestarian melalui skema ISPO. Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, dalam sambutannya pada pembukaan RT 11,  menyampaikan niatan pemerintah untuk mereplikasi mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk kayu ke industri kelapa sawit. Namun niatan ini tidak boleh dilihat sebagai ancaman bagi mekanisme sukarela RSPO. Menurut Desi Kusumadewi, “Pemerintah telah mengumumkan kerjasama strategis pertama antara ISPO dan RSPO melalui studi kolaboratif mengenai kedua mekanisme tersebut”.

Namun perkembangan positif tersebut masih kurang didukung oleh pihak pembeli. Suplai sawit lestari masih tidak sebanding dengan permintaan yang ada, dimana hanya sekitar 53% CSPO diserap oleh pembeli global. Kondisi ini dibuktikan oleh studi yang dilakukan oleh WWF dalam Palm Oil Buyers Score Card 2013. Melalui presentasinya pada sesi kedua, Irwan menyampaikan adanya stagnansi perubahan pasar menuju kelapa sawit lestari. Berdasarkan temuan score card 2013, banyak perusahaan yang telah menyatakan komitmennya untuk menggunakan 100% CSPO pada tahun 2015, masih tetap mengandalkan skema Book&Claim untuk mengkompensasi penggunaan minyak sawit tidak bersertifikat mereka.

“Negara konsumen perlu secara aktif mendorong perusahaan agar mau memenuhi komitmen mereka. Memboikot produk minyak sawit bukan langkah yang tepat, karena minyak sawit masih tetap menjadi minyak nabati yang paling produktif dan efisien dibandingkan dengan 16 jenis minyak nabati lainnya di dunia,” kata Irwan. Apabila dibandingkan dengan kedelai, hasil ekstraksi minyak sawit per hektar dapat mencapai 10 kali lipat. Karena itu satu-satunya cara adalah dengan memastikan minyak sawit diproduksi secara lestari. “Hampir setengah produk yang kita konsumsi sehari-hari mengandung kelapa sawit. Dari minyak goreng hingga shampo dan pasta gigi mengandung minyak sawit. Bagaimana cara memboikot penggunaan sawit?” lanjut Irwan.

Indonesia sendiri sebagai negara produsen sawit mulai bergerak menjadi konsumen terbesar minyak sawit. Oleh karena itu konsumen Indonesia memiliki peranan besar untuk mempengaruhi industri untuk memproduksi dan memasarkan produk sawit yang menggunakan sawit lestari. RSPO telah mengembangkan trademark CSPO untuk memberikan jaminan pada konsumen mengenai kelestarian produksi kelapa sawit yang dikandung sebuah produk. Menurut Desi, RSPO akan terus mempromosikan trademark tersebut pada 2014, sehingga konsumen Indonesia dapat membantu industri sawitnya terus maju tanpa harus mengorbankan kelestarian lingkungan hidup.

0 komentar:

Posting Komentar