WWF INDONESIA - Sebagai rangkaian kegiatan RSPO Round Table ke-11, hari ini WWF-Indonesia dan RSPO mengadakan media roundtable
di Hotel Sahid. Kesempatan ini dijadikan sebagai ajang tukar pikiran
dan pembahasan lebih mendalam mengenai hasil dan tindak lanjut RT 11
yang diselenggarakan di Medan, bulan November lalu. Dalam kesempatan
ini, Irwan Gunawan, Deputi Direktur untuk Market Transformation Initiative
WWF-Indonesia, kembali mengajak media untuk ikut menyuarakan pada
masyarakat dan pelaku bisnis agar mendukung produksi kelapa sawit
bersertifikat lestari (CSPO).
Sesi pertama diisi dengan presentasi dari RSPO, yang diwakili oleh
Direktur RSPO Indonesia, Desi Kusumadewi. Melalui presentasinya, Desi
menyampaikan bahwa RT 11 – dengan tema besar “RSPO Standard 2013: Understand. Apply. Embrace”
– untuk pertama kalinya mengadopsi mekanisme open space discussion,
dimana peserta terlibat dalam pembahasan rencana aksi 2014 sesuai dengan
kompetensi yang dimiliki.
Dalam lingkup Indonesia, benang merah hasil kegiatan tiga hari yang
dihadiri oleh 784 delegasi dari 30 negara ini, menunjukkan peningkatan
posisi kelapa sawit bersertifikat lestari pada industri kelapa sawit.
Sebagai negara penghasil kelapa sawit utama di dunia, Pemerintah
Indonesia berupaya mendorong aspek kelestarian melalui skema ISPO. Wakil
Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, dalam sambutannya pada
pembukaan RT 11, menyampaikan niatan pemerintah untuk mereplikasi
mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk kayu ke industri
kelapa sawit. Namun niatan ini tidak boleh dilihat sebagai ancaman bagi
mekanisme sukarela RSPO. Menurut Desi Kusumadewi, “Pemerintah telah
mengumumkan kerjasama strategis pertama antara ISPO dan RSPO melalui
studi kolaboratif mengenai kedua mekanisme tersebut”.
Namun perkembangan positif tersebut masih kurang didukung oleh pihak
pembeli. Suplai sawit lestari masih tidak sebanding dengan permintaan
yang ada, dimana hanya sekitar 53% CSPO diserap oleh pembeli global.
Kondisi ini dibuktikan oleh studi yang dilakukan oleh WWF dalam Palm Oil Buyers Score Card 2013.
Melalui presentasinya pada sesi kedua, Irwan menyampaikan adanya
stagnansi perubahan pasar menuju kelapa sawit lestari. Berdasarkan
temuan score card 2013, banyak perusahaan yang telah menyatakan
komitmennya untuk menggunakan 100% CSPO pada tahun 2015, masih tetap
mengandalkan skema Book&Claim untuk mengkompensasi penggunaan minyak sawit tidak bersertifikat mereka.
“Negara konsumen perlu secara aktif mendorong perusahaan agar mau
memenuhi komitmen mereka. Memboikot produk minyak sawit bukan langkah
yang tepat, karena minyak sawit masih tetap menjadi minyak nabati yang
paling produktif dan efisien dibandingkan dengan 16 jenis minyak nabati
lainnya di dunia,” kata Irwan. Apabila dibandingkan dengan kedelai,
hasil ekstraksi minyak sawit per hektar dapat mencapai 10 kali lipat.
Karena itu satu-satunya cara adalah dengan memastikan minyak sawit
diproduksi secara lestari. “Hampir setengah produk yang kita konsumsi
sehari-hari mengandung kelapa sawit. Dari minyak goreng hingga shampo
dan pasta gigi mengandung minyak sawit. Bagaimana cara memboikot
penggunaan sawit?” lanjut Irwan.
Indonesia sendiri sebagai negara produsen sawit mulai bergerak menjadi
konsumen terbesar minyak sawit. Oleh karena itu konsumen Indonesia
memiliki peranan besar untuk mempengaruhi industri untuk memproduksi dan
memasarkan produk sawit yang menggunakan sawit lestari. RSPO telah
mengembangkan trademark CSPO untuk memberikan jaminan pada konsumen
mengenai kelestarian produksi kelapa sawit yang dikandung sebuah produk.
Menurut Desi, RSPO akan terus mempromosikan trademark tersebut pada
2014, sehingga konsumen Indonesia dapat membantu industri sawitnya terus
maju tanpa harus mengorbankan kelestarian lingkungan hidup.
Home
»
Serba serbi
»
Teknologi kehutanan
» Produksi Kelapa Sawit Bersertifikat Lestari Harus Tetap Didukung
Rabu, 18 Desember 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar